Seorang
bocah yang hidup di Cina yang harus melawan kerasnya hidup untuk menjaga
ayahnya yang sudah tidak sanggup lagi mengurusnya. Bocah ini belum genap 10
tahun namun dia harus menanggung beban yang sangat berat yang harus dia pikul
selama 5 tahun lebih. Sang ayah sudah lumpuh sakit-sakitan dan tidak sanggup
melakukan pekerjaan apa pun kecuali tidur, hingga istrinya pun tidak sanggup
lagi mengurusnya akhirnya pergi meninggalkan ayah dan anaknya itu sendiri.
Anak
itu bernama Zhang da, Situasi ini memaksanya untuk terus bekerja keras untuk
kehidupannya dan juga ayahnya. Disamping dia harus bersekolah dia juga harus
bisa mencari uang dan makanan sendiri. Upah hasil dari bekerja itu dia belikan
makanan dan dia sisihkan untuk membayar sekolah dan membeli obat ayahnya yang
tentu saja tidak murah dan relatif mahal. Setiap hari dia harus mengurusi
segala kebutuhan ayahnya, seperti menggendong ke wc, menyeka kotorannya,
menggantikan pakaiannya, memasak dan menyuapi makanannya. Semua pekerjaan ini
menjadi tanggung jawabnya sehari-hari.
Hingga suatu hari pada tanggal 27 januari 2007 dia terpilih menjadi seorang yang mendapatkan penghargaan “Perbuatan Luar Biasa”. Diantara 1,4 milyar penduduk cina, dialah merupakan satu-satunya anak kecil. Yang membuatnya terpilih adalah karena perhatian dan pengabdian kepada ayahnya yang tanpa lelah terus dirawatnya.
Ketika pembawa acara penghargaan itu menanyakan hal apa yang diinginkannya, anak itu menjawab bahwa dia hanya ingin ibunya kembali ke mereka, berkumpul kembali dengan mereka. Dari sekian banyak penawaran yang ditawarkan, dari pendidikan hingga kemewahan untuk kehidupannya, ia hanya menginginkan hal yang sangat sederhana, bisa dibayangkan bagaimana mulia nya hati anak tersebut. Dan sangat jarang sekali dapat kita temukan anak seperti itu, kebanyakan fenomena-fenomena yang kita lihat disekitar bahwa kebanyakan orangtua yang bersusah payah membahagiakan anak-anaknya dan malah justru terkadang anak-anaknya lah yang menyakiti dan membuat sedih para orangtua. Semoga kisah nyata ini dapat menjadi bahan perenungan bagi kita para anak agar selalu menghormati dan membahagiakan orangtua selagi mereka masih ada.
Sumber :
Contoh Pengabdian
Sebulan Hanya Dibayar Rp 250 Ribu. Sungguh
ironis ketika menelisik kesejahteraan guru tidak tetap alias guru
sukwan. Namun, meski secara materi jauh dari keseimbangan, mereka
tetap gigih membagi ilmu kepada anak didiknya. Berikut salah satu
perjuangan guru tanpa tanda jasa itu.
Saat kumandang azan subuh tiba seakan
menjadi panggilan rutin yang didengar oleh Hadrowi, 26, warga Desa/Kecamatan
Pangarengan. Untuk itulah, dia harus bergegas dari tempat tidurnya.
Meski terasa mengantuk, dia tetap harus bangun. Maklum, dirinya harus
bersiapsiap pergi mengajar. Ketika tepat pukul 04.30, sepeda motor
Honda yang sudah kelihatan sangat lapuk miliknya dipastikan sudah
meluncur ke arah utara.
Ya, begitulah
aktivitas salah satu guru yang sudah 4 tahun mengabdikan
dirinya untuk kepentingan pendidikan. Hadrowi, memang bukanlah
seorang guru PNS dengan segudang kesejahte raan. Namun, kewajibannya bak
seorang abdi negara yang patut menyandang pahlawan tanpa tanda
jasa. Suami dari Muafi yah itu setiap hari harus menyusuri jalan raya
yang jarak tempuhnya hampir mencapai 60 kilometer lebih.
Jika
dihitung pulang pergi bisa mencapai 120 kilometer. Maklum, selama ini
dia mengajar di salah satu sekolah di Desa Bunten Timur,
Kecamatan Ketapang, yang berada di wilayah utara. ”Jauh sih,
bayangkan Kabupaten Sampang paling selatan ke paling utara. Tapi
demi sebuah pengabdian untuk pendidikan rasa capek itu tidak pernah
dirasakan. Kalau keluh kesah terkadang selalu terbesit wong namanya
manusia,” ucapnya kepada Jawa Pos Radar Madura kemarin (1/5).
Menurutnya,
jika perjuangan dan pengabdiannya diukur dengan materi yang
hanya sebagai seorang guru sukwan sangatlah rugi. ”Tapi, saya
tidak pernah menghitung itu. Yang terpenting bagi saya
bagaimana saya bisa menularkan ilmu pengetahuan,” tuturnya. Tak
banyak memang gaji yang diterima guru sukwan seperti Hadrowi. Dia
hanya dibayar Rp 250 ribu setiap bulan. ”Untuk bensinnya saja pulang
pergi (PP) Rp 15 ribu per hari. Kalau sebulan berapa,” katanya
seraya tersenyum.
Namun,
lagi-lagi soal materi tak menjadi halangan yang menyurutkan dirinya
untuk tidak terjun ke dalam dunia pendidikan. Sebab,
tujuannya hanya ingin beribadah. ”Mengajar itu pekerjaan yang
mulia. Jika dihitung secara ekonomi keluarga memang tidak
berkecukupan, tapi beda dengan hitungan yang
Mahakuasa,” pungkasnya. Untuk itulah, pada momentum Hari
Pendidikan Nasional hari ini pihaknya mengharapkan agar pemerintah bisa
meningkatkan kepedulian terhadap para guru sukwan. Sebab,
kata dia, tugas dan kewajibannya sama, yakni mendidik
anak bangsa. Sedangkan kesejahteraan yang diperoleh sangat
jauh berbeda.
Sumber :